Dalam hukum acara perdata, setiap orang
dan/atau badan hukum yang digugat oleh penggugat di pengadilan, disebut sebagai
tergugat dan diberikan hak untuk mengajukan jawaban dan bantahan terhadap pokok
perkara dalam gugatan penggugat tersebut.
Bantahan yaitu upaya
tangkisan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap pokok perkara.
Pengertian ini dapat pula diartikan:
·
Bantahan yang langsung ditujukan tergugat
terhadap pokok perkara.
Intisari (esensi) dari
bantahan terhadap pokok perkara, berisi alasan dan penegasan yang sengaja
dibuat dan dikemukakan tergugat, baik secara lisan maupun secara tulisan dengan
maksud untuk menyanggah atau menyangkal kebenaran dalil gugatan yang dituangkan
tergugat dalam jawabannya. Dengan kata lain, bantahan terhadap pokok perkara
disampaikan dalam jawaban tergugat untuk menolak dalil gugatan penggugat.
Secara teknis,
pemeriksaan perkara menjalani proses jawab-menjawab di sidang pengadilan
sebagaimana digariskan dalam ketentuan Pasal 142 Rv yang menegaskan para pihak
dapat saling menyampaikan surat jawaban serta replik dan duplik.
Berkaitan erat dengan isi jawaban, maka
jawaban tergugat dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Jawaban berisi pengakuan (bekentenis);
Tergugat boleh dan dibenarkan memberi
jawaban yang berisi pengakuan (confession) terhadap sebagian maupun
seluruh dalil gugatan penggugat. Tergugat harus sadar bahwa pengakuan terhadap
dalil gugatan yang disampaikan dalam jawaban maupun duplik, erat kaitannya
dengan sistem pembuktian. Sampai sekarang, Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH
Perdata masih menempatkan pengakuan sebagai alat bukti
2. Jawaban berisi
membantah dalil gugatan;
Hal inilah yang disebut dengan bantahan
terhadap pokok perkara (verweer ten principale), semua dalil gugatan
penggugat dibantah keberadaan dan kebenarannya. Sasaran bantahan, secara teori
dan praktek ditujukan kepada 2 (dua) hal, yaitu: (1) kebenaran dalil gugatan
dan (2) arah kejadian atau fakta hukum. Oleh karena itu, tergugat harus
mempersiapkan dengan jeli dan cerdas dalam mempersiapkan alat bukti pada proses
pembuktian untuk mendukung bantahannya terhadap dalil gugatan penggugat.
Sebagai tambahan penjelasan, perumusan bantahan dalam jawaban dapat dibarengi
dengan eksepsi. Jawaban dengan pola seperti ini harus dirumuskan secara
sistematis sehingga jelas bagian mana yang berisi eksepsi dan bagian mana yang
memuat bantahan pokok perkara. Tujuannya, untuk memudahkan hakim
mempelajarinya.
3. Jawaban tidak memberi
pengakuan maupun bantahan.
Sikap lain yang dapat dipilih tergugat,
tidak mengakui dan tidak membantah. Jawaban hanya berisi pernyataan,
menyerahkan sepenuhnya kebenaran gugatan kepada hakim (referte aan het
oordel des rechters), Jadi tergugat menyerahkan sepenuhnya penilaian
kebenaran dalil gugatan kepada hakim. Adapun sikap tergugat seperti ini, maka
yang harus diperhatikan tergugat adalah bahwa sikap itu dinyatakan secara tegas
dalam jawabannya, oleh karenanya sikap menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan
hakim untuk menilai kebenaran dalil gugatan tidak dapat diterapkan secara
diam-diam. Di lain sisi, hakim juga tidak diperbolehkan untuk menilai sikap
penyerahan penilaian dari tergugat sebagai suatu pengakuan, karena sikap
tergugat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk menguatkan
dalil gugatan.
No comments:
Post a Comment