Tuesday, April 12, 2016

Bantahan Terhadap Pokok Perkara

Dalam hukum acara perdata, setiap orang dan/atau badan hukum yang digugat oleh penggugat di pengadilan, disebut sebagai tergugat dan diberikan hak untuk mengajukan jawaban dan bantahan terhadap pokok perkara dalam gugatan penggugat tersebut.
Bantahan yaitu upaya tangkisan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap pokok perkara. Pengertian ini dapat pula diartikan:
·         Jawaban tergugat mengenai pokok perkara;
·         Bantahan yang langsung ditujukan tergugat terhadap pokok perkara.
Intisari (esensi) dari bantahan terhadap pokok perkara, berisi alasan dan penegasan yang sengaja dibuat dan dikemukakan tergugat, baik secara lisan maupun secara tulisan dengan maksud untuk menyanggah atau menyangkal kebenaran dalil gugatan yang dituangkan tergugat dalam jawabannya. Dengan kata lain, bantahan terhadap pokok perkara disampaikan dalam jawaban tergugat untuk menolak dalil gugatan penggugat.

Monday, April 11, 2016

PENATAUSAHAAN BARANG MILIK NEGARA

DEFINISI

Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. (Pasal 1 Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah)

PRINSIP-PRINSIP PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA (BMN)

Ø Adanya pemisahan peran antara pengelola dan pengguna (pasal 42, 43, dan 44 UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara), terutama mengenai hak dan kewajiban;

Ø Barang Milik Negara yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahkan (Pasal 45 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004). Dengan demikian, pemanfaatan BMN diarahkan untuk penyelenggaraan Tupoksi.

Ø Penjualan BMN prinsipnya dilakukan dengan cara lelang, kecuali dalam hal-hal tertentu yang pengaturan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 48 UU No. 1 Tahun 2004).

Ø BMN yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat harus disertifikatkan atas nama pemerintah Republik Indonesia yang bersangkutan (Pasal 49 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004).

Ø Bangunan Milik Negara harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan ditatausahakan dengan tertib (Pasal 49 ayat (2) UU No. 1/2004).

Ø BMN dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan, dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman, dan dilarang untuk dilakukan penyitaan (Pasal 49 ayat (4) dan (5) serta pasal 50 huruf c dan d UU No. 1 Tahun 2004).

Ø Penggunaan BMN sebatas untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi departemen/lembaga yang bersangkutan (pasal 6 ayat 2e dan pasal 8 ayat 2d PP 27/2014)
Ø Tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan oleh Pengguna untuk penyelenggaraan tupoksi wajib diserahkan (pasal 49 ayat 3 UU 1/2004 dan penjelasan PP 27/2014) kepada Pengelola Barang, untuk :
§  Dialihkan status penggunaan kepada Pengguna Barang lainnya;
§  Dimanfaatkan;

§  Dipindahtangankan.

Untuk selengkapnya silakan download PENATAUSAHAAN BARANG MILIK NEGARA

ALUR PENANGANAN PERKARA PIDANA

ALUR PENANGANAN PERKARA PIDANA

oleh

Albertina

silakan download disini

KEUNIKAN STATUS HAKIM DIBANDINGKAN DENGAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

KEUNIKAN STATUS HAKIM DIBANDINGKAN DENGAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
Oleh
ANSYAHRUL

Disampaikan pada Diskusi Publik dengan tema DESAIN STATUS HAKIM
yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian & Advokasi untuk Independensi Peradilan ( LeIP )
pada hari Jumat, tanggal 5 Desember 2014 di Jakarta


I. PENDAHULUAN

Ada lima hal yang menjadikan status Hakim itu unik bila dibandingkan dengan Pegawai Negeri Sipil yaitu :

1.  Beratnya beban tugas para Hakim yaitu diberi kewenangan untuk menghakimi dan menjatuhkan hukuman terhadap sesama manusia. Dari sisi kemanusiaan, proses mengadili adalah sebuah pergulatan kemanusiaan, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Mr. Roeslan Saleh yang menulis sebagai berikut : “Mengadili adalah suatu proses yang dengan susah payah telah terjadi di antara manusia dan manusia. Mengadili adalah suatu pergulatan kemanusiaan untuk mewujudkan hukum. Mengadili tanpa suatu hubungan yang bersifat sesama manusia pada hakekatnya tidaklah mungkin” 1.

Pendapat ini benar sekali karena seorang hakim yang notabene juga seorang manusia, harus menghakimi sesama manusia, dimana si hakim sebagai manusia biasa tentu juga mempunyai kelemahan-kelemahan, tapi ia harus mampu mengatasi itu dan menghadapi tantangan itu.

2.  Para Hakim adalah pelaku yang mengaktualisasikan, mengimplementasikan, atau mewujudkan peranan dari kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif dalam suatu negara yang menurut prinsip universal harus bebas dari pengaruh dan campur tangan pihak manapun.

3.  Prof. Oemar Seno Adji menjelaskan bahwa menurut paham Rechtstaat maupun Rule of Law, suatu pengadilan yang bebas merupakan suatu syarat yang indispensable, kebebasan tersebut dalam pengertian bebas dari campur tangan Eksekutif maupun Legislatif, meskipun demikian tidak berarti bahwa Hakim boleh bertindak sewenang-wenang, karena Pengadilan dalam menjalankan tugasnya, subordinated, terikat pada hukum. Pengadilan harus bebas dari pengawasan, pengaruh, dan campur tangan kekuasaan lain2.

4. Berarti kebebasan Hakim adalah merupakan turunan atau derivatif dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

5.  Dalam melaksanakan tugasnya, para Hakim tidak hanya menerapkan hukum, tetapi dalam hal-hal tertentu juga menemukan dan menciptakan hukum.
6.  Jabatan Hakim diatur secara khusus di dalam Konstitusi pada pasal tersendiri yaitu Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945.
7.  Para Hakim harus menjalani permutasian yang ketat sampai masa pensiunnya.

Sampai saat ini status Hakim ada dua, yaitu ;
a. Para Hakim di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara berstatus Pegawai Negeri Sipil ( PNS ).
b. Para Hakim di lingkungan Peradilan Militer berstatus Anggota Tentara Nasional Indonesia ( TNI ).

Para Hakim yang berstatus PNS berarti adalah bagian dari Aparatur Sipil Negara yang berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, ditentukan bahwa :
“Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN”.

Menurut teori, perlu dibedakan pengertian “pemerintah” dan “pemerintahan”, yaitu : “pemerintah” adalah dalam pengertian luas yang berarti adalah “negara”, sedangkan “pemerintahan” adalah dalam pengertian sempit yaitu “fungsi eksekutif”. Jadi dalam hal kekuasaan tertinggi dalam kebijakan pembinaan profesi, dan manajemen ASN ada pada Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan yang berarti dalam fungsi eksekutif. Tetapi Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan pengertian yang berbeda dimana “pemerintahan” menunjuk kepada “negara”, sedangkan “pemerintah” menunjuk kepada “kekuasaan eksekutif”.

Berbeda halnya dengan para Hakim Militer, sesuai dengan kekhususan kewenangan peradilan militer yang hanya berwenang mengadili perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh Anggota TNI yang notabene adalah aparat eksekutif. Namun demikian seharusnya juga harus bebas dari keterkaitan dengan kekuasaan eksekutif. Hal ini jelas mempengaruhi kemandirian peradilan.

1 Roeslan Saleh, Mengadili Sebuah Pergulatan Kemanusiaan, Aksara Baru, Jakarta, 1979, halaman 22
2 Lihat : Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1985, halaman 20, 46, dan 49 




MEMBANGUN SISTEM PENGAWASAN INTERNAL DALAM KERANGKA REFORMASI BIROKRASI

MEMBANGUN SISTEM PENGAWASAN INTERNAL 
DALAM KERANGKA REFORMASI BIROKRASI

oleh


Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan


silakan download disini

PEDOMAN PEMBANGUNAN ZONA INTEGRITAS PADA Kementerian/Lembaga/Propinsi/Kabupaten/Kotamadya

LATAR BELAKANG

Berbagai kegiatan sebagai upaya untuk mencegah korupsi telah banyak dilakukan oleh KPK, antara lain Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)Program Pengendalian Gratifikasi (PPG)KPK Whistleblower's System (KWS), Kampanye, Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK), SI, sosialisasi, pendidikan/pelatihan, Integrity Fair, dsb. 

Keberhasilan upaya pencegahan korupsi tersebut dirasakan kurang optimal, salah satu sebabnya diduga karena  upaya tersebut  tidak dilakukan secara terpadu dan direncanakan dengan baik.

Pembangunan Unit Kerja Zona Integritas (ZI) diharapkan dapat menjadi model pencegahan korupsi yang lebih efektif, karena pada Unit Kerja ZI inilah dilakukan berbagai upaya pencegahan korupsi secara terpadu.

DEFINISI

Pada pedoman ini, yang dimaksud dengan :

1). Zona Integritas (ZI) adalah sebutan atau predikat yang diberikan kepada suatu K/L/Prop/Kab/Kota yang pimpinannya mempunyai niat (komitmen) mencegah terjadinya korupsi dan mempunyai program kegiatan pencegahan korupsi dan reformasi birokrasi di lingkungan kerja yang menjadi tanggungjawabnya;

2). Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) adalah sebutan atau predikat yang diberikan kepada unit kerja pada ZI yang mempunyai indeks integritas tertentu dari hasil survei integritas dan telah mampu memenuhi indikator lain yang ditetapkan;

3). Unit Kerja adalah suatu unit kerja layanan masyarakat yang mandiri. Mandiri dalam arti   mengelola anggaran (DIPA) sendiri yang eselonisasinya   serendah-rendahnya setingkat dengan eselon dua.

DASAR HUKUM
1.   UU No. 28 Tahun 1999;
2.   UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2002;
3.   UU No. 30 Tahun 2002;
4.   UU No. 14 Tahun 2008;
5.   PP No. 60 Tahun 2008;
6.   Perpres No. 24 Tahun 2010;
7.   Inpres No. 5 Tahun 2004;
8.   Inpres No. 9 Tahun 2011;
9.   Inpres No. 17 Tahun 2011.

untuk selengkapnya silakan download disini



“INDEPENDENSI DAN IMPARSIALITAS HAKIM/PENGADILAN SEBAGAI PARAMETER KUNCI “ FAIR TRIAL”

INDEPENDENSI DAN IMPARSIALITAS HAKIM/PENGADILAN SEBAGAI PARAMETER KUNCI “ FAIR TRIAL
DR. Ibrahim, SH., M.H., LL.M

Pada tahun 1906 Roscoe Pound di hadapan  The American Bar Association  mengatakan bahwa  ketidakpuasan/ketidakpercayaan publik terhadap proses peradilan (administartion of justice ) setua dengan hukum itu sendiri. Ketidakpuasan itu, antara lain disebabkan oleh peradilan yang tidak merdeka , parsial dan putusan  yang tidak objektif. Hal ini sejalan dengan apa yg disinyalir oleh Ehrlich, “An old saying that those rich walk free, while those without money get punished” .

INDEPENDENSI HAKIM/PENGADILAN

Prinsip bahwa hakim/pengadilan harus merdeka dan tidak memihak diakui  pada semua sistem hukum dan beberapa instrumen hukum hak asasi internasional.

Ide/gagasan (notion) “judicial independence” berasal dari doktrin pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh filsuf Prancis Montesquieu dalam L’Esprit des Lois (1748) yg mengatakan:

there is no liberty,  if the judiciary power be not separate from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty  of the subjects would be exposed to arbitrary control; for the judge would be the legislator. Were It joined to the executive power, the judge bight behave with violence and oppression”

Berdasar pada pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan/kemerdekaan hakim adalah salah satu prasyarat bagi terselenggaranya proses peradilan yang fair.

Pengertian biasa/secara sederhana, independence berarti “freedom from influence” atau tidak menjadi subordinasi dari organ lainnya, khususnya eksekutif dan legislatif – penting kaitannya dengan seleksi hakim.

Secara khusus, independensi berarti bahwa hakim adalah pencipta atas putusannya (the authors of their own decision) dan karena itu mereka seharusnya bebas dari pengaruh yang tidak pantas (inappropriate influence).

Pertanyaannya adalah independensi hakim untuk apa dan untuk siapa?  Chief justice Fraser Alberta, Canada mengemukakan, “ we have judicial independence for a reason to protect the constitutional right of our citizens”.

Artinya bahwa independensi hakim tidak hanya diperuntukkan bagi kemanfaatan hakim, tetapi untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan (independence is not  a privelege of the judge, but a benefit for the public).

Bahkan dalam pembukaan Universal Charter of the Judge dinyatakan bahwa, “ independence is not right, but an obligation< “judge shall in all their work ensure the rights of everyone to a fair trial” 

IMPARSILITAS

Maksud dari kebebasan hakim adalah untuk membuat proses peradilan yg tidak memihak. Untuk itu, selain hakim harus merdeka/bebas, hakim juga harus menjaga netralitas/tidak memihak – judge standing in between the parties –   atau sering dikatakan bahwa hakim harus menjaga keseimbangan tangannya (equality of arm).

Imparsiality dapat diartikan seorang hakim tidak bleh memiliki personal bias/preference pada salah satu pihak guna membuat putusan yg adil.

Stefen Strechsel mengatakan, a judge must be free to float hither and thither between the position of the parties and finally reach a decision at the place which, in correct application of the law and rules of jurisprudence, marks the just solution.

Meskipun terdapat perbedaan antara kebebasan dan imparsialitas, tapi keduanya adalah saling menguatkan. Seperti dikemukakan oleh Chief Justice Lamer, Canada,  …judicial independence is critical to the public’s perception of impartiality; judicial independence is the cornerstone, a necessary prerequisite for judicial impartiality.

Imparsialitas ditandai oleh keseimbangan objektif dari kepentingan sah pihak dalam suatu kasus. Imparsialitas hakim bisa goyah apabila hakim membuka kran terjadinya komunikasi sepihak (ex parte communication) baik di dalam maupun di luar persidangan atau melonggarkan komitmen integritas. Praktek komunikasi sepihak dan longgarnya komitmen pd integritas menjadi pintu bagi terhalangnya pengambilan putusan yang obyektif.  Apabila perilaku korup menghinggapi pribadi hakim, maka akan sulit kita mendapatkan kepercayaan publik.

Untuk itu menarik untuk menyimak pernyataan John Marshal berikut:
I have always thought, from my earliest youth till now, that the greatest scourge an angry Heaven ever inflicted upon an ungrateful and sinning people, was an ignorant, a corrupt or a dependant judiciary.”(Jhon Marshall at the Virginia Constitutional Conference in 1829-30)

KESIMPULAN

·      Independensi hakim adalah prasyarat untuk menjadikan peradilan tidak memihak
·    Judicial Independence is not an end in itself, but an instrumental value that serves another end.” (Professors Ferejohn and Kramer)
·    Dengan  independensi dan imparsialitas hakim diharapakan kepercayaan publik perlahan  bersemi kembali baik di dalam maupun di luar pengadilan
·     Indpendensi dan imparsialitas hakim merupakan amunisi bagi perjuangan menegakkan hukum dan keadilan.
·      Independensi hakim adalah prasyarat untuk menjadikan peradilan tidak memihak
·    Judicial Independence is not an end in itself, but an instrumental value that serves another end.” (Professors Ferejohn and Kramer)
·    Dengan independensi dan imparsialitas hakim diharapakan kepercayaan publik perlahan  bersemi kembali baik di dalam maupun di luar pengadilan
·    Indpendensi dan imparsialitas hakim merupakan amunisi bagi perjuangan menegakkan hukum dan keadilan.

Selengkapnya download disini